SUARA adzan dhuhur mengalun. Nadanya mendayu-dayu, meluncur dari sebuah
masjid di lingkungan Pesantren Fisabilillah. Beberapa menit kemudian,
dari gereja Katholik yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari masjid,
lonceng tua berdentang. Tak jauh dari masjid dan gereja itu, berdiri
gagah Gereja Kristen Pasundan. Jemaat Protestan, pemilik tempat ibadah
ini, bisa beribadah tenang, tanpa takut terusik. Suara adzan tak terasa
riuh di dalam gereja. Sebaliknya, dentang lonceng juga tak memekakkan
telinga jamaah masjid. Baik adzan maupun lonceng gereja, volumenya
memang diatur agar tak saling mengganggu. Masjid dan gereja yang penuh
toleransi itu terletak di Kampung Sawah, Kecamatan Jatisampurna, Bekasi,
sebelah timur Jakarta. Tak ada keberingasan di kampung itu. Tak pernah
terjadi perseteruan di antara mereka.
Kampung Sawah pun dikenal sebagai
area segi tiga emas: Islam, Katolik, dan Protestan. Kampung Sawah
merupakan gejala unik dalam konteks budaya Betawi. Ia adalah kampung
betawi pertama yang agama warganya beraneka. Sejak seabad lampau, warga
setempat ada yang beragama Islam, Protestan, maupun Katolik. Gejala ini
sedikit “menyimpang” dari kelaziman warga betawi yang identik dengan
Islam. Penyimpangan itulah yang menarik perhatian Abdul Azis, peneliti
pada Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama
(Balitbang Depag), untuk mengkaji profil kerukunan beragama di kampung
tersebut, pada 1996. Penelitian serupa dilakukan Jurusan Antropologi
Universitas Indonesia, dua tahun kemudian. Menurut Azis, kerukunan
beragama di Indonesia memiliki basis budaya yang lebih kokoh dibanding
Eropa. “Sejarah Eropa kental pengalaman konflik antaragama,” katanya.
Masyarakat nusantara tak demikian. “Perbedaan agama di sini sering kali
melahirkan kreasi lokal dalam mengembangkan kerukunan antar agama,”
ujarnya. Master sosiologi dari Universitas Monash Australia ini menunjuk
Kampung Sawah sebagai contoh. Awalnya, hampir semua warga Kampung Sawah
menganut Islam. Protestan baru hadir 1886, ditandai munculnya Jemaat
Meester F.L. Anthing di bawah Perhimpunan Pekhabaran Injil Belanda. Pada
akhir 1880-an perkembangan Protestan kian pesat, akibat banyaknya
jemaat dari Mojowarno, Jawa Timur, dan lereng Gunung Muria, Jawa Tengah,
yang hijrah ke Kampung Sawah. Pemeluk Protestan yang mulai multi etnis
itu, tahun 1895, pecah jadi tiga kelompok. Satu di antaranya memilih
Katolik Roma, meski saat itu tak sadar bahwa Katolik bukan bagian
Protestan. Perkembangan Katolik di Kampung Sawah itu ditandai dengan
pembaptisan 18 putra setempat pada 6 Oktober 1896 oleh Pater Bernardus
Scwheitz, dari Katedral Batavia. Penganut Kristen di Kampung Sawah
kemudian membentuk sistem marga, tradisi yang tak ditemukan di betawi
lainnya. Misalnya, marga Baiin, Saiman, Bicin, Napiun, Kadiman, Dani,
Rikin, dan Kelip. Jangan kaget bila tiba-tiba ketemu nama Musa Dani,
Marthius Napiun, atau Sulaeman Kadiman. Nama marga adalah bentukan
sistem hukum kolonial. Masa itu berlaku hukum Islam, adat, dan barat.
Kolonial Belanda menerapkan sistem hukum yang berbeda pada masing-masing
golongan masyarakat. Bagi warga Kristen bumi putera yang hendak
menikah, berlaku peraturan khusus mirip hukum sipil Barat. Mereka harus
menggunakan nama keluarga ditambah nama baptis. Antarwarga asli Kampung
Sawah masih terikat hubungan kerabat. Meski agama berbeda-beda. “Ini
salah satu modal terjaganya kerukunan beragama di antara kami,” kata M.
Encep, sang Kepala Desa. Hubungan kerabat itu tak saja berupa hubungan
darah, melainkan juga melalui jalur perkawinan. Banyak terjadi kawin
silang antarpemeluk agama berbeda. Ada yang kemudian melebur ke agama
pasangannya. Ada juga yang bertahan pada agama masing-masing. Pengasuh
Pesantren Fisabilillah, KH Rahmadin Afif, 55 tahun, misalnya, punya
saudara sepupu yang jadi tokoh Protestan dan Katolik. Persaudaraan
mereka tak terganggu. “Kalau lebaran, kami biasa mengirim rantang dan
saling berkunjung,” kata Afif. Kakek Afif juga masih ada hubungan
keluarga dengan kakek Musa Dani, 72 tahun, sesepuh Protestan. “Kalau
lebaran di sini, Anda susah membedakan mana muslim dan mana Kristen,”
kata Musa. Di bulan Ramadhan, Musa mengaku tak terganggu. Karena salat
taraweh dan tadarus tidak pakai pengeras suara berlebihan. Jam 22.00 pun
sudah selesai. “Di sini ndak ada orang yang malam-malam keliling
kampung nyuruh sahur,” kata Musa. Bila ada kematian, apapun agama yang
meninggal, warga serempak melayat. Mereka membantu semampunya, dan turut
mengantarkan jenazah. Saat tahlilan, warga non-muslim menunggu di luar
rumah. Begitu acara usai, semua bergabung mencicipi hidangan atau
sekadar bercengkerama. Begitu pula ketika penghiburan. Kerabat muslim
akan sabar menunggu di luar, sampai acara ritualnya selesai. Tapi, damai
Kampung Sawah kini terancam. Musa Dani risau dengan hadirnya musala
milik pendatang baru di belakang rumahnya. Masjid kecil ini suka
mengumandangkan adzan keras-keras. Musik kasidah sering diputar
memekakkan kuping. Rahmadin Afif juga gelisah. Semenjak datangnya pastur
baru asal Jerman, dua tahun lalu, umat Nasrani suka memakai pakaian
adat Betawi muslim dalam acara keagamaan. Bila ada gejala keresahan
seperti itu, kata Musa, biasanya justru diperingatkan oleh umat agama
masing-masing. Semoga saja Harmoni ini tetap bisa berlanjut dan
dipertahankan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar