PENGEMBANGAN KOMUNITAS KELUARGA NAPIUN DI KAMPUNG SAWAH, PONDOK MELATI-KOTA BEKASI


PENGEMBANGAN KOMUNITAS  KELUARGA  NAPIUN
DI KAMPUNG SAWAH, PONDOK MELATI-KOTA BEKASI
 


      A.     Gambaran Komunitas Keluarga Napiun di Kampung Sawah

Kampung Sawah adalah secara geografis berada di wilayah perbatasan antara Jakarta Timur dengan Kota Bekasi (lihat gambar 1). Secara khusus wilayah Kampung Sawah meliputi 4 kelurahan yaitu kelurahan Jatiwarna, Kelurahan Jatimelati dan Kelurahan Jatimurni (Kecamatan Pondok Melati) serta Kelurahan Pondok Ranggon (Kecamatan Jatisampurna) dalam wilayah Kota Bekasi. Secara letak geografis perbatasan sebelah utara yaitu Pasar Kecapi, sebelah barat jalan raya Ujung Aspal dan Jakarta Timur, sebelah selatan Kampung Raden dan sebelah timur adalah kampung Pedurenan dan Cakung Payangan.



Gambar 1

Riwayat perkembangan penduduk Kampung Sawah menurut Kurris (1996), pada pertengahan-akhir abad ke 18 terbentuknya komunitas di Kampung Sawah berasal dari; (1) Orang asli Kampung Sawah, (2) Orang Pedurenan, Cakung Payangan, (3) Orang Banten keturunan sisa prajurit Mataram (4) Etnis Tionghoa, (5) Masyarakat Gunung Putri, (6) Desa Kristen Bendo-Jepara dan Modjowarno, Jember. Wilayah Kampung Sawah diakhir abad ke-18 masuk dalam wilayah partikulir atau tanah yang dijual oleh pemerintahan penjajahan Belanda kepada pihak swasta.

Kampung secara bahasa berarti desa atau dusun yang berada di perkotaan. Sedangkan sawah adalah tempat bercocok tanam. (WJS. Purwadarminta : 2003). Kampung Sawah berarti kampung yang dikelilingi areal persawahan. Jenis tanamannya pun bermacam-macam dan yang paling dominan adalah padi. Kampung Sawah merupakan perkampungan dengan gejala uniknya dalam konteks budaya Betawi. Ia adalah kampung Betawi pertama yang agama warganya beraneka ragam. Sejak seabad lalu, warga setempat ada yang beragama Islam, Protestan, maupun Katolik. Gejala ini sedikit “menyimpang” dari kelaziman warga Betawi yang identik dengan ajaran Islam. Meski agama berbeda-beda, kunci kerukunan di kampung sawah, ternyata adalah kekerabatan yang tetap dijaga. Hubungan kerabat itu tak saja berupa hubungan darah, tapi juga melalui jalur perkawinan. Banyak terjadi kawin silang antar pemeluk agama berbeda. Ada yang kemudian melebur ke agama pasangannya. Ada juga yang bertahan pada 
agama masing-masing. (Wikipedia Indonesia : 2006 )

Toleransi keagamaan di Kampung Sawah tergambar dari letak Masjid, Gereja Kristen Pasundan dan Gereja Katolik yang saling berdekatan. Bila hari-hari besar agama Kristen dan Katolik banyak umat yang memanfaatkan lahan parkir di Masjid untuk parkir kendaraan. Kegiatan kemasyarakatan di lingkungan RT dan ketetanggan dalam hal kerja bakti, perayaan hari Kemerdekaan RI maupun Natal dan Tahun Baru pola kegotongroyongan komunitas tampak berlangsung dengan baik tidak tersekat-sekat oleh perbedaan agama.

Pada zaman kolonial Belanda menerapkan sistem hukum yang berbeda pada masing-masing golongan masyarakat. Bagi warga Kristen bumi putera yang hendak menikah, berlaku peraturan khusus mirip hukum sipil Barat. Mereka harus menggunakan nama keluarga ditambah nama baptis. Berikut beberapa nama marga yang dapat ditemui di Kampung Sawah yaitu Napiun, Pepe, Kelip, Lampung, Baiin, Kaiin, Kuding, Senen, Noron, Oyan, Biran, Seran, Rimin, Niman, Minan, Modo, Kikim, Rikin, Djilin, Sabiran, Jaim, Tambal, Halim, Kadiman dan Nathanael. Sejak akhir abad 18 hingga saat ini keturunan silsilah marga-marga tersebut sudah memasuki keturunan generasi ke-6 dan ke-7. Keluarga Napiun dimulai dengan bapak Napiun sebagai generasi ke-1 melahirkan generasi ke-2 yaitu; Rafi Napiun (P), Jaben Napiun (P),Tebeng Napiun (P), Sem Napiun (L), Kam/Taim Napiun (L), dan Yafet Napiun (L). Tidak ada data silsilah keluarga Napiun yang lengkap dari bapak Napiun yang pertama hingga generasi ke 6-7. Beberapa orangtua dari generasi ke-4 yang masih hidup sudah mendokumentasikan namun masih parsial. Dari informasi informan generasi ke-4 yaitu bapak Manuel Boeng Napiun (87 tahun) menyatakan dia sudah membuat silsilah keluarganya dan daftar keluarga yang sudah meninggal dari keluarga Napiun sejak tahun 1996 tetapi tidak lengkap dan mengalami kesulitan khususnya untuk generasi ke-5 dan generasi selanjutnya karena semakin banyak jumlah dan sebarannya di luar wilayah Kampung Sawah.

Bentuk-bentuk kegiatan kekerabatan keluarga yang sengaja dilakukan untuk mempererat persaudaraan dan saat ini masih bertahan khususnya keturunan keluarga Kam/Taim Napiun yaitu kegiatan arisan yang dilakukan secara reguler setiap bulan sejak 40 tahun yang lalu. Kegiatan arisan ini sudah berkembang di ikuti 82 anggota umumnya dari generasi ke-4 dan ke-5. Bentuk-bentuk kegiatan solidaritas secara spontan dan terkoordinir yaitu pada peristiwa-peristiwa kesusahan seperti kematian, sakit, musibah dan peristiwa-peristiwa gembira seperti pernikahan, kriyaan atau perayaan peristiwa keagamaan seperti Paskah, Natal, Idul Fitri termasuk Tahun Baru. Bentuk-bentuk solidaritas dan tolong menolong biasa dilakukan berwujud sumbangan tenaga, fasilitas dan dana dari anggota keluarga Napiun.

      B.     Permasalahan.
Realitas komunitas keluarga Napiun saat ini sudah mengalami pergeseran yang mungkin secara tidak disadari oleh mereka bahwa situasi ini bukan merupakan permasalahan Perubahan-perubahan tersebut antara lain :
1.      Perubahan kampung menjadi wilayah perkotaan. Era ini ditandai dengan pergesaran mata pencaharian hidup yang semula bergantung pada sektor pertanian, bersifat homogen menjadi masyarakat industri. Perubahan tuntutan baik secara ekonomi,pendidikan yang kemudian berubah pada pola hubungan kekerabatan dan solidaritas. Pada saat ini masyarakat asli Kampung Sawah termasuk komunitas keluarga Napiun mulai bergeser dari tipe masyarakat yang sederhana dalam masa transisi kepada masyarakat modern dimana banyak nilai-nilai solidaritas era kampung yang bergeser kepada era perkotaan dimana sistemnya tidak memerlukan interaksi langsung sehingga kurang mengenal secara pribadi antar anggota keluarga.
2.      Bergesernya teritorial wilayah tempat tinggal. Pengaruh perubahan dengan semakin padatnya penduduk terutama oleh arus migrasi penduduk pendatang, perkawinan, pekerjaan, dan factor lainnya membuat pergeseran tempat tinggal komunitas Napiun di daerah Kampung Sawah menjadi diluar Kampung Sawah yang membuat pola komunikasi semakin berkurang bahkan hilang.
3.      Pemahaman tentang adat dan nilai-nilai budaya orang tua versus kaum muda. Pergeseran nilai-nilai social budaya yang sudah berubah dan bergeser dari kalangan tua kepada generasi muda. Perubahan dari tipe masyarakat yang gemeinschaft kepada masyarakat yang gesellschaft. Struktur sosial dimana orangtua atau yang lebih tua sudah kurang diakui lagi pengaruh dan kekuasaannya oleh generasi muda dan cenderung penilain generasi muda saat ini lebih melihat dari jabatan, pendidikan dan tingkat ekonomi. Nilai-nilai budaya yang lama seperti menentukan jodoh, tata cara  perkawinan mengalami pergeseran pada generasi ke-6 cenderung menentukan jodoh atas pilihan sendiri dan berpikir praktis dan efisien seperti proses menikah dengan menyewa gedung dan tidak perlu di rumah sendiri, resepsi yang hanya berlangsung 2-3 jam, sementara tata cara pernikahan generasi sebelumnya baik pra nikah, selama dan pasca pernikah dapat berlangsung dua atau tiga hari.
4.      Kelompok yang mayoritas menjadi minoritas. Sebelumnya etnis asli Betawi termasuk komunitas Napiun merupakan mayoritas di wilayah Kampung Sawah namun dalam perkembangannya pendatang mulai mendominasi baik dalam kepemilikan lahan, mata pencaharian, dan menguasai struktur social baik di dalam pemerintahan, pendidikan juga keagamaan. Situasi ini menimbulkan perasaan minoritas, tersingkir (tergusur) dan ketidakberdayaan khususnya pada generasi tua. Data komposisi umat Katolik di Kampung Sawah tahun 2000-2004 (Praptanto,2011) menunjukkan hanya 18% (kedua terbesar) dari umat gereja Katolik adalah etnis Betawi, sementara etnis Jawa adalah yang terbesar yaitu (44%), selanjutnya Flores (15%), Batak (9%) serta sisanya adalah Cina, Sunda, Maluku dan Menado.  Keterwakilan dalam struktur pengurus Dewan Paroki umat Gereja Katholik di Kampung Sawah tahun 2013 hanya terdapat dua orang pengurus dari etnis Betawi selebihnya adalah pendatang.
5.      Berkurangnya interaksi kekerabatan keluarga Napiun karena tuntutan kerja di dunia industri yang membuat sibuk sehingga komunikasi terbatas hanya dalam keluarga inti, sementara waktu luang untuk keluarga besar berkurang yang mempengaruhi kohesi komunitas keluarga Napiun. Banyak diantaranya yang harus bekerja berangkat jam 5 pagi dan pulang jam 8 malam bahkan bekerja pada hari Sabtu atau Minggu. Masalah lainnya karena semakin kompleks jumlah anggota keluarga dan lokasi tempat kerja atau tempat tinggal sudah banyak yang berada di luar Kampung Sawah sehingga menghambat jaringan komunikasi berkumpul atau interaksi langsung (tatap muka).
Secara ringkasnya permasalahan perubahan atau ancaman kohesi, solidaritas dan jaringan kekerabatan keluarga Napiun di atas dapat digambarkan seperti telur yang akan retak dan pecah, lihat pada gambar 2.

                                                          Gambar 2


      C.     Analisa Permasalahan dan Rekomendasi

Untuk menjawab permasalahan di atas, maka penulis merasakan penting untuk mengurai permasalahan tersebut di atas dengan mengaitkan berbagai landasan teori dan upaya menemukan kembali nilai-nilai perekat kekerabatan keluarga Napiun. Nilai-nilai solidaritas komunitas keluarga Napiun dalam sejarah perkembangannya sudah dibangun diatas 4 fondasi dasar yang kokoh yaitu; hubungan darah, kedekatan wilayah, kesamaan kepercayaan (keagamaan) dan kesamaan budaya (Betawi) yang kohesinya sangat kuat. Secara ringkasnya kohesi komunitas keluarga Napiun dapat digambarkan seperti gambar telur yang dibalut oleh 4 lapisan yaitu hubungan darah, tinggal di lokasi yang sama, umumnya beragama Katolik, dan etnis Betawinya masih kental. Lihat gambar 3 berikut ini:  

Gambar 3

Perkembangan waktu dan zaman seperti halnya persoalan yang dihadapi oleh kekerabatan keluarga Napiun saat ini yaitu bagaimana generasi selanjutnya dapat meneruskan dan mengembangkan modal social tersebut sebagai sumber dalam rangka interaksi social yang lebih baik. Bagaimana kebudayaan generasi sebelumnya dapat diterima atau diteruskan generasi selanjutnya. Soekanto (1994) menyatakan, kemungkinan untuk mengubah tradisi kebudayaan yang telah dipelihara turun temurun memang sulit. Namun, melalui inovasi secara bertahap, perubahan dalam kelompok kekerabatan dapat terjadi meskipun dalam waktu yang cukup lama.

Beberapa bentuk solidaritas yang dikemukakan oleh Durkheim (1964) yaitu didasarkan atas ikatan tradisional dalam bentuk ikatan kekeluargaan, dasar kesukuan atau kedaerahan, kesamaan nilai yang dianut dan lain sebagainya. Inti dari  ikatan  tradisional adalah  kebersamaan merupakan bentuk solidaritas mekanik. Sementara solidaritas organik adalah ikatan sosial yang  terbangun berdasarkan keahlian yang melahirkan saling ketergantungan dalam masyarakat industri. Berbeda dengan solidaritas mekanik yang lahir berdasarkan kesamaan, solidaritas organik justru hadir dengan dasar perbedaan. Dengan dasar ikatan seperti ini, seseorang akan sangat mungkin berhubungan dengan orang asing, bukan keluarga atau orang-orang yang sudah dikenal sebelumnya. Saling ketergantungan membuat individu dalam masyarakat setelah era industri tak bisa mengelak untuk tidak bekerja sama dengan  orang asing. Kondisi ini pula yang membuat semakin rapuhnya kekerabatan keluarga, dimana generasi sekarang lebih mementingkan solidaritas yang berkaitan dengan pekerjaan dibandingkan dengan kekerabatan keluarga karena menyangkut mata pencaharian hidup.

Baiklah kita melihat bagaimana perbedaan antara ciri komunitas atau masyarakat pedesaan dan perkotaan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai mana pada gambar 4.
Gambar 4
Masyarakat Desa
Masyarakat Kota
1).Perilaku homogen
2).Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan
3).Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status .
4).Isolasi sosial, sehingga statik
5).Kesatuan dan keutuhan kultural
6).Banyak ritual dan nilai-nilai sakral
7). Kolektivisme
1). Perilaku heterogen
2).Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan
3).Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi
4).Mobilitassosial,sehingga dinamik
5).Kebauran dan diversifikasi kultural
6).Birokrasi fungsional dan nilai-nilai sekular
7).Individualisme


Perubahan era pedesaan menjadi perkotaan memerlukan suatu sikap atau kesadaran yang terkadang tidak terpikirkan terutama oleh masyarakat atau komunitas tersebut. Komunitas kekekerabatan Napiun yang semula dibangun atas ikatan-ikatan nilai tradisional yaitu ikatan kekeluargaan, etnis Betawi, dalam satu wilayah yaitu Kampung Sawah, kesamaan nilai dan kepercayaan yang dianut. Kini mengalami perubahaan atau transisi dimana nilai-nilai tersebut bergeser kepada individual, mengandalkan diri sendiri, orientasi kepada fungsi-fungsi dan rasionalitas, harus berbaur dengan berbagai macam etnis dan budaya-budaya baru. Generasi muda mulai meninggalkan nilai-nilai lama sehingga menimbulkan kekhawatiran pada generasi tua.

Pada rumusan permasalahan dan kebutuhan yang ingin di telaah lebih lanjut oleh Pekerja Sosial dari komunitas keluarga Napiun yaitu:
1.            Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan nilai-nilai solidaritas semakin berkurang dan nilai-nilai solidaritas apa saja dalam situasi perubahan ini masih bertahan.
2.            Bagaimana komunitas keluarga Napiun mempertahankan nilai-nilai tradisional tersebut dalam transisi dari komunitas pedesaan menjadi komunitas perkotaan.
3.            Bagaimana komunitas keluarga Napiun dapat mengadaptasikan nilai-nilai solidaritas kekerabatan generasi tua (4-5) disesuaikan dengan situasi perubahan generasi muda (6-7) sehingga entitas kekerabatan keluarga Napiun tetap terpelihara dengan baik.
4.            Program dan kegiatan untuk merekronstruksikan kembali nilai-nilai solidaritas, kegotongroyongan dan jaringan kekerabatan keluarga Napiun.
5.            Bagaimana komunitas keluarga Napiun dapat memanfaatkan jaringan kekerabatan sebagai modal atau jaringan sosial yang dapat menjadi sumber-sumber pertolongan bagi eksistensi komunitasnya di Kampung Sawah.

Populasi dan arena yang ingin di telaah lebih lanjut oleh pekerja sosial dari komunitas keluarga Napiun yaitu :
1.            Komunitas keluarga Napiun dari keturunan Kam/Taim (generasi ke-2) khususnya generasi ke-4 hingga 7 yang saat ini masih hidup. Secara khusus dapat dilihat pada gambar 5 tentang pohon silsilah Keluarga Napiun dari keturunan generasi ke-2 yaitu Kam/Taim Napiun.
2.            Secara dipersempit yaitu keluarga yang tergabung dalam kelompok arisan keluarga Napiun (82 anggota).
Gambar 5.

1.            Wilayah komunitas di Kampung Sawah akan dipersempit yaitu anggota arisan keluarga Napiun yang lokasi tempat tinggalnya berada di wilayah tanah warisan Kam/Taim Napiun yaitu di Kampung Sawah, Rt 003/02 Kelurahan Jatimurni-Pondok Melati, Kota Bekasi-Jawa Barat.

      D.     Rencana Intervensi
Pekerja social merumuskan tahapan intervensi pengembangan masyarakat untuk pengembangan komunitas keluarga Napiun  menurut versi  Adi (2001) yaitu meliputi tahap persiapan, assessment, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan terminasi. 
1.      Tahap persiapan. Tahap persiapan ini menyangkut penyiapan petugas (tim) dan penyiapan lapangan. Pada tahapan ini pekerja sosial diharapkan dapat mengetahui gambaran atau profil komunitas, adat kebiasaan, kondisi sosio-demografisnya dan yang lebih penting mengenai isu-isu yang akan ditangani. Penyiapan lapangan berhubungan dengan jalinan kontak dan kontrak awal agar terjadi kedekatan dengan komunitas. Kontak ini dapat dilakukan secara formal dan informal yang menentukan keterlibatan komunitas pada tahapan berikutnya.
2.      Tahap assessment. Pada proses ini dilakukan identifikasi masalah atau kebutuhan yang dirasakan dan juga sumber daya yang dimiliki. Salah satu tehnik yang dimiliki yaitu dengan analisa SWOT. Dalam komunitas keluarga Napiun kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman dan bagaimana mengajak anggota komunitas Napiun untuk menyusun prioritas dari permasalahan atau kebutuhan yang akan ditangani. Pada tahapan ini dapat dilakukan telaah masalah/kebutuhan dengan memberikan gambaran utuh tentang situasi solidaritas keluarga Napiun khususnya keluarga-keluarga yang tergabung dalam kelompok arisan keluarga Napiun.
3.      Tahap perencanaan alternative program atau kegiatan. Pada tahap ini bagaimana memfasilitasi komunitas keluarga Napiun untuk berpikir tentang masalah atau kebutuhan dan bagaimana cara mengatasinya. Dalam kegiatan ini pekerja sosial dapat mendorong masyarakat untuk mendiskusikan alternative kegiatan dengan mempertimbangkan kegiatan yang bersifat spesifik, dapat dilakukan, mempertimbangkan sumber daya yang tersedia, pelaku-pelaku pelaksana dan penentuan waktu pelaksanaan.
4.      Tahap pemformulasian rencana aksi. Pada tahapan ini semua rencana yang sudah didiskusikan dapat dirumuskan menjadi sebuah proposal rencana yang sudah lebih rinci. Pertimbangannya sudah terumuskan sebuah rencana tertulis untuk pencapaian tujuan baik jangka pendek dan jangka panjang serta rincian kegiatan, penanggung jawab pelaksana dan sumber dana/fasilitas yang tersedia. Pada keluarga Napiun ini diharapkan sumber-sumber digali dari anggota keluarga Napiun sendiri.
5.      Tahap pelaksana (implementasi) program atau kegiatan. Pada tahapan ini pekerja sosial dapat bersama-sama dengan komunitas keluarga Napiun melaksanakan apa yang sudah direncanakan dan memotivasi serta mengawal partisipasi komunitas dalam pelaksanaan kegiatan sesuai dengan perencanaan yang sudah dibuat. Bila ditengah jalan ada perubahan-perubahan maka penyesuain rencana dapat difasilitasi pekerja sosial.
6.      Tahap Evaluasi. Pada tahapan ini pekerja social dapat melakukan fungsi supervisi dan evaluasi terhadap pelaksanaan program yang melibatkan komunitas keluarga Napiun.  Yang paling penting juga bagaimana stabilitas dari perubahan kearah yang posisitif dapat dipertahankan terutama dalam kemandiriannya. Sebagai contoh adanya keinginan untuk mengembangkan kembali kesenian khas etnik Betawi seperti prosesi “palang pintu” dalam hal mengadakan upacara perkawinan. Diperlukan sosialisasi dan tim khusus (sutradara, pemain dan peralatan) yang dapat digunakan untuk kegiatan pernikahan khususnya dari keluarga Napiun.
7.      Tahap terminasi. Terminasi diharapkan dapat dilakukan sesuai dengan durasi waktu dalam rencana program atau kegiatan yang sudah disepakati dengan pekerja sosial. Walaupun demikian untuk proses kemandirian diperlukan kontak-kontak lanjutan untuk menjaga dan memonitor semua proses tersebut dapat berlanjut dan mandiri.




























Daftar Pustaka :

Adi, Isbandi Rukminto. (2001). Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan
Intervensi: Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis, Jakarta : Fakultas
            Ekonomi Universitas Indonesia.
Durkheim, Emile.(1964). The Division of Labor in Society.  New York: The Free Press.
Kurris, SJ.(1996). Terpencil di Pinggiran Jakarta. Satu Abad Ummat Katolik Betawi.
            Jakarta : Penerbit Obor
Poplin, DE. (1972). Communities, New York, Macmillan Coy
Praptanto, Aloisius Eko.(2011). Sepangkeng Kisah Gereja Katolik Kampung Sawah.
            Bekasi : Paroki St Servatius Kampung Sawah, saat merayakan ulang tahun
yang ke 115 untuk kalangan sendiri.
Soekanto, Soerjono. (1993). Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat.
            Jakarta: Raja Grafindo Persada.

4 komentar:

  1. Aneh juga tuh cerita. Kampung sawah hehehe. Jangan ngaku orang betawie kalo yang sebenernya kaga ngerti. Dari abad 18 Pondok melati ude di kenal. Kampung sawah.. siapa yang tau. Orang2 nya menjual agama demi makanan. Pondok melati sampe mampus tetep aje muslim.. jangan ngaku orang betawie asli kalo agama lo selain islam.. liat kampung Pondok melati sekarang ude jadi kecamatan. Kampung sawah sampe kapan pun tetep aje nama kampung.. hadeeeh yang begini di tulis hadeeeh payah

    BalasHapus
  2. Aneh juga tuh cerita. Kampung sawah hehehe. Jangan ngaku orang betawie kalo yang sebenernya kaga ngerti. Dari abad 18 Pondok melati ude di kenal. Kampung sawah.. siapa yang tau. Orang2 nya menjual agama demi makanan. Pondok melati sampe mampus tetep aje muslim.. jangan ngaku orang betawie asli kalo agama lo selain islam.. liat kampung Pondok melati sekarang ude jadi kecamatan. Kampung sawah sampe kapan pun tetep aje nama kampung.. hadeeeh yang begini di tulis hadeeeh payah

    BalasHapus
  3. masih banyak marga yang laen .. walau sya lahir di beltim.

    BalasHapus